Mempertemukan Alkitab dan al-Qur’an, dari Sudut Pandang Kristen.

Penulis: Robert Setio

Mempertemukan Alkitab dan al-Qur’an, dari Sudut Pandang Kristen. [1]

Abstract

Reading scriptures or a scipture interreligiously has not quite often been done in Indonesia, despite the fact the country has been known as a place for many religions. This article is intended to show how such readings can be done. It is also suggested that that kind of readings should be more encouraged, especially in the academic field. Three ways of reading al-Qur’an and Alkitab (the Bible) will be displayed, i.e., reading a shared story written in both scriptures, reading interculturally involving Islam and Christian communities, and, reading Alkitab from the perspective of a Moslem painter. This effort relates not only Islam and Christianity but also religion and art. The readings have a hermeneutical basis which is not the same as the classic historical criticism. In historical criticism the task of the interpreter is just to excavate the meaning from the historical backgrounds of the text. The finding is not up to the interpreter but to the historicity lies behind the text. Recent developments in Biblical Studies have shown a different paradigm of reading from that of historical criticism. In this paradigm, the readers are the focal point of the readings. It is with this paradigm that this article is written. The three ways of readings are usually called pragmatic readings with the readers being the central of the process and the focus of analysis.

Kata kunci: al-Qur’an, Alkitab, pembaca, makna

It became clear to some that the Qur’an could be viewed as a product of the coparticipation of reading God’s Holy Word by Jews, Christians, and Muslims. From this perspective, the polemical interpretations of the “borrowing/lending” metaphor as well as the reductionist search for the Ur-text could be replaced by the more generative method of analyzing the rhetorical structures of the Qur’an’s readings of God’s Holy Word. (Vernon K. Robbins and Gordon D. Newby)

(Menjadi jelas bagi sementara orang bahwa al-Qur’an dapat dilihat sebagai hasil kopartisipasi pembacaan Kalam Allah dari orang Yahudi, Kristen dan Muslim. Dari sudut pandang ini, penafsiran polemis mengenai siapa yang meminjam siapa, juga usaha reduksionis untuk mencari teks yang paling asali dapat diganti dengan metode yang lebih menghasilkan yaitu analisa terhadap struktur retoris dari Qur’an sebagai pembacaan akan Kalam  Allah.)

Any intelligent conception of scripture (of one’s own, of others’, or in general) must make room for both the positive and the negative aspects. A general theory must account not only for variety, for persistence, for effectiveness, and the rest, but also for the darker aspects. (Wilfred Cantwell Smith)

(Pemikiran yang cerdas tentang kitab suci [entah miliknya sendiri, milik orang lain atau secara umum] haruslah memberi tempat bagi aspek positif maupun negatif. Sebuah teori yang menyeluruh perlu memperhitungkan tidak saja aspek kepelbagaian, kegigihan, kefektifan dan seterusnya, namun juga aspek-aspek gelap <dari kitab suci>.) 

Pendahuluan

Salah satu hal yang dapat menjadi topik pembicaraan dalam perjumpaan antara Islam dan Kristen adalah pembacaan kitab suci. Kedua agama ini memiliki kitab suci yang isinya banyak mengandung persamaan. Dalam pemaparan berikut akan disebut beberapa kisah yang sama-sama ada dalam kedua kitab suci tersebut. Tetapi yang pertama-tama harus diakui adalah sekalipun tahu bahwa persinggungan antara kedua kitab suci tersebut ada dan cukup banyak jumlahnya, upaya untuk mengangkat persinggungan tersebut belumlah cukup dilakukan. Minimal dalam studi biblika (Kristen), jarang sekali terlihat ada orang yang mengangkat teks al-Qur’an sebagai rujukan atau perbandingan. Padahal teks-teks diluar Alkitab seperti karya-karya agung dari Babilonia dan Mesir sering dijadikan rujukan dan bahan perbadingan. Jadi pasti bukan soal tidak digunakannya referensi dari teks-teks diluar Alkitab dalam studi biblika yang menjadi alasan, tapi khusus mengenai teks al-Qur’an itu sendiri. Semoga ini sebuah ketidaksengajaan saja. Atau, soal ketidakbiasaan.[2] Kalau begitu, saya ingin mengajak agar kita menjadikannya sebagai sebuah kebiasaan.

Andaikata sudah ada niat untuk menjadikan Qur’an sebagai referensi dalam studi Alkitab, pertanyaan selanjutnya adalah dengan cara bagaimana referensi tersebut hendak dijalankan. Apakah al-Qur’an “hanya” dijadikan sebagai pendukung bagi kisah Alkitab saja? Artinya, Qur’an dipakai untuk memperjelas maksud dari Alkitab saja. Ataukah, teks Qur’an perlu dipahami secara lebih mendalam? Bahkan bilamana terdapat discrepancy diantara kedua kitab suci itu, orang perlu melakukan penelitian tentang mana yang lebih layak diterima, mana yang benar? Misalnya saja dengan meneliti historisitasnya. Apakah akan sampai sejauh itu?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang perlu dijawab andaikata ada keinginan untuk mempertemukan kedua teks suci tersebut secara sungguh-sungguh. Tulisan ini sebenarnya tidak ditujukan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara langsung, namun sedikit banyak akan berisi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut ketika memaparkan beberapa bentuk perjumpaan yang sudah terjadi.

Perjumpaan ini sendiri berangkat dari pengalaman penulis yang pernah menulis disertasi mengenai kisah pengurbanan anak Abraham (Kejadian 22).[3] Sebuah kisah yang terdapat juga di dalam Qur’an. Selain itu, ada juga pengalaman penulis ketika mengadakan penelitian bersama dengan mahasiswa pascasarjana teologi UKDW untuk sebuah metode penafsiran interkultural. Dalam metode ini dibentuklah 3 macam kelompok yang kemudian diminta membaca sebuah teks. Teks tersebut adalah Sodom dan Gomora (Kejadian 19).[4] Kisah ini juga diangkat dalam Qur’an. Pengalaman lain dari penulis dalam memperjumpakan Alkitab dan Qur’an adalah lewat penafsiran secara seni atas mimpi apokaliptik Daniel (Daniel 7). Dalam kerangka itu, penulis mengajak seorang pelukis Islam yang dibesarkan dalam lingkungan pondok pesantren untuk memahami dan melukiskan pemahamanannya atas teks Daniel tersebut. Ketiga pengalaman inilah yang akan diangkat dalam tulisan ini. Tentu saja penulis tidak ingin semata-mata optimis dan meniadakan kritik-kiritik yang ada berkenaan dengan upaya-upaya penulis tersebut. Maka, dalam tulisan ini, penulis juga akan mengangkat kritik-kritik tersebut. Tetapi pastilah penulis punya jawaban atas kritik-kritik tersebut yang juga akan penulis muat dalam tulisan ini.

Pengurbanan Anak Abraham / Ibrahim

Dalam tradisi Yahudi, pengurbanan Ishak, anak Abraham dikenal dengan nama Aqedah yang diambil dari peristiwa pengikatan Ishak sebelum diletakkan di atas mezbah, di atas tumpukan kayu bakar (Kejadian 22:9). Nama aqedah sendiri diambil dari bahasa Ibrani yang mempunyai kesamaan dengan Bahasa Arab, ‘aqada dengan arti yang sama pula yaitu mengikat. Kata “mengikat” dalam Bahasa Indonesia sendiri pastilah diturunkan dari Bahasa Arab: ‘aqada itu. Bagi orang Yahudi, istilah aqedah tidak saja dimengerti secara harfiah yaitu diikatnya Ishak oleh Abraham, namun juga dipahami secara teologis yaitu bahwa dengan adanya kerelaan dari Ishak untuk dikorbankan oleh ayahnya, maka sejak itu Tuhan mengingatnya (dengan begitu mengikatkan diriNya) dan menjadikannya dasar untuk mendatangkan keselamatan bagi anak cucu Ishak. Setiap kali ditimpa krisis, orang-orang Yahudi sebagai keturunan Ishak akan menaikkan doa permohonan permintaan tolong kepada Tuhan dengan dasar aqedah yitshak itu.

Dalam tradisi Islam, sebagaimana yang kita ketahui, anak (Ibrahim) yang dikurbankan itu adalah Ismail. Perbedaan tentang siapa anak yang dikurbankan itu telah menjadi bahan perdebatan dari sementara orang. Penulis sendiri tidak berminat untuk masuk ke perdebatan tersebut melainkan ingin melihat pemaknaan yang sebagaimana nanti terbukti, justru memiliki kesamaan-kesamaan.[5]

Menarik untuk diperhatikan bagaimana Qur’an memaparkan kesiapan dan kerelaan Ismail untuk dikurbankan oleh Ibrahim (Qs. 37). Dalam versi Alkitab tidak terdapat perkataan sebagaimana yang dikatakan oleh Ismail. Ishak hanya diam saja ketika hendak dikurbankan. Satu-satunya perkataan yang meluncur dari mulutnya adalah pertanyaan tentang hewan yang hendak dikurbankan oleh karena ia heran ketika mendapati ayahnya hanya membawa kayu bakar dan api saja (Kejadian 22:7). Setelah itu, Ishak terus terdiam sampai dengan menjelang penyembelihannya. Kediaman Ishak itu telah menimbulkan banyak penafsiran. Sebagian mengatakan bahwa Ishak masih terlalu kecil untuk mengerti maka ia diam saja. Sebagian mengatakan bahwa ia sudah cukup dewasa dan tahu apa yang terjadi, hanya saja ia memilih diam. Tradisi Yahudi (diluar teks Kejadian) juga melukiskan kerelaan Ishak untuk dikurbankan, sesuatu yang sangat mirip dengan kisah dalam Qur’an. Ishak digambarkan secara aktif menyerahkan dirinya sendiri untuk dijadikan kurban oleh ayahnya. Ia mengetahui bahwa ayahnya diperintahkan Tuhan untuk mengurbankan dirinya dan, seperti ayahnya, ia rela dijadikan kurban. Maka, pengurbanan dirinya itu bukan hanya menjadi urusan ayahnya saja, melainkan urusannya juga. Tradisi Yahudi memberi penghargaan kepada kerelaan Ishak tersebut sama seperti kepada kerelaan Abraham. Kedua ayah dan anak ini dipandang sebagai penurut-penurut Allah. Tradisi Islam memberikan pujian yang sama kepada Ismail dan Ibrahim. Ismail dikenal sebagai orang yang sangat sabar karena tidak melawan pengurbanan dirinya.

Nilai kerelaan dan kesabaran telah menjadi nilai bersama (common value) dari tradisi Yahudi dan Islam. Bagaimana dengan tradisi Kristen? Sebagai tradisi yang mewarisi kisah yang sama, namun menjadikannya tipologi bagi pengurbanan Kristus, tradisi Kristen juga menggarisbawahi nilai kerelaan dan kesabaran tersebut. Kristus yang diyakini sebagai anak Allah oleh orang Kristen, dipandang telah mempraktekkan suatu hidup yang penuh ketaatan kepada BapaNya. Suatu ketaatan yang total hingga pada kematianNya. Ketaatan Kristus pada kehendak BapaNya itu dijadikan pula sebagai teladan bagi para pengikutNya meskipun tanpa harus mengalami kematian yang sama seperti Kristus. Kematian Kristus yang dipercaya membawa penebusan dosa itu cukuplah berlangsung sekali untuk selamanya. Bagi para pengikutNya, ketaatan yang diminta adalah ketaatan untuk mendahulukan kehendak Allah dan misiNya bagi dunia. Hidup bagi kemuliaan Allah. Dengan adanya pemahaman demikian maka dapat dikatakan bahwa tradisi ketiga agama Abrahamik – Yahudi, Islam dan Kristen – itu memiliki pemahaman yang sama mengenai peristiwa pengurbanan anak Abraham / Ibrahim.

Kesamaan lain yang bisa ditemukan dalam ketiga tradisi tersebut mengenai kisah yang sama adalah pemahaman mengenai ujian dari Tuhan. Pengurbanan anak Abraham tersebut diterima sebagai ujian dari Tuhan kepada Abraham. Sebelumnya, Abraham sudah dikenal sebagai orang yang setia kepada Tuhan. Tetapi demi menegaskan kesetiaannya itu, Abraham diberi ujian yang sangat berat berupa perintah untuk mengurbankan anaknya sendiri. Hasil ujian tersebut menunjukkan bahwa Abraham berhasil lolos. Ia tetap menjalankan perintah tersebut dari awal hingga akhirnya. Karena itulah ia dibenarkan oleh Tuhan. Ketiga tradisi Abrahamik memetik pelajaran tentang kesetiaan yang total dari ujian ini. Manakala umat menghadapi cobaan hidup yang berat, ketawakalan Abraham dipakai sebagai tuntunan untuk membawa mereka pada keberhasilan dalam mengatasinya.

Hukuman Sodom (dan Gomora)

Perkembangan dunia tafsir Alkitab akhir-akhir ini telah memberikan ruang yang lebih leluasa kepada peranan pembaca masa kini. Berbeda dengan periode sebelumnya dimana penafsir diharuskan untuk mencari pemahaman dari latar sejarah yang membuat mereka harus kembali ke masa silam (historis kritis), perkembangan sekarang justru membuka diri terhadap pembaca dalam konteks masa kininya. Kawan-kawan di Free University, Belanda misalnya, telah mengembangkan sebuah metode penafsiran yang melibatkan para pembaca sekarang untuk menarik makna dari sebuah teks Alkitab berdasarkan kesadaran akan kebudayaan para pembaca tersebut. Metode yang disebut intercultural reading ini pada dasarnya ingin memperhadapkan teks Alkitab secara langsung dengan pembacanya tanpa melewati pemahaman mengenai latar sejarahnya. Teks Alkitab “hanya” dilihat beradasarkan keadaannya yang sekarang. Tekanannya bukan terletak pada asal muasal teks, namun seluk beluk kehidupan pembacanya. Reaksi dari pembaca justru menjadi poin penting yang ingin diperhatikan dan dipergumulkan.

Dalam kerangka uji coba metode tersebut, penulis memberikan tugas kepada mahasiswa pascasarjana teologi UKDW untuk mengusahakan pembacaan atas teks Sodom dan Gomora (Kejadian 19) oleh 3 kelompok yang berbeda. Kelompok pertama adalah kelompok dari orang-orang yang beragama Islam. Kelompok kedua berasal dari agama Kristen. Dan yang ketiga adalah kelompok “waria”. Kepada masing-masing kelompok diminta untuk membaca dan memberikan penafsiran mereka atas teks yang sama. Hasil dari penafsiran mereka itu dipertukarkan satu sama lain. Tiap kelompok kemudian diminta untuk memberikan tanggapan mereka atas penafsiran kelompok lain. Tanggapan tersebut kemudian disampaikan kepada kelompok semula untuk dimintakan tanggapan baliknya. Para mahasiswa yang menjadi fasilitator diminta untuk tidak melakukan intervensi atas proses ini dan mempersilakan kelompok untuk menjalankan tugasnya sendiri. Hanya pada akhir dari proses ini saja, kami bersama-sama mencoba untuk membuat analisa yang menghubungkan antara penafsiran dan budaya masing-masing kelompok. Juga untuk melihat bagaimana reaksi-reaksi yang bermunculan semakin mempertegas keterkaitan antara pembaca dan budayanya.

Perlu untuk disampaikan dalam kesempatan ini bahwa teks yang dibaca adalah tentang kisah yang dalam tradisi agama Abrahamik diterima sebagai bukti ditolaknya homoseksualitas. Dalam keasadaran itu, kami sengaja melibatkan kaum waria yang dalam asumsi kami akan memiliki reaksi yang khas terhadap teks yang anti terhadap keberadaan mereka itu. Karena teksnya adalah Alkitab maka kelompok waria tersebut dibentuk dengan memperhatikan latar agama mereka yaitu yang beragama Kristen saja. Kriteria agama sebenarnya tidak terlalu jelas bagi kaum ini karena mereka hampir tidak pernah berurusan dengan institusi agama. Sekalipun begitu, karena sudah lama Kristen, mereka masih mengenal Alkitab termasuk kisah Sodom dan Gomora itu. Ketika proses pembacaan dijalankan, ternyata apa yang kami asumsikan di awal tidak terlalu menjadi kenyataan. Kelompok waria ternyata tidak mendapati adanya tanda anti homoseksual dalam kisah yang mereka baca. Maka, pembicaraan yang terjadi diantara mereka pada tahap awal adalah justru mengenai alasan lain yang sekiranya membuat orang di kota Sodom dan Gomora dimusnahkan. Mereka tidak melihat tanda-tanda homoseksual dari orang di kedua kota tersebut. Itu berbeda sekali dengan kelompok Islam yang langsung mengaitkan teks (Alkitab) yang mereka baca dengan kisah tentang hukuman atas Sodom yang disebabkan oleh perilaku homseks mereka. Hal yang sama juga ditemukan pada kelompok Kristen.

Pembicaraan berkembang menjadi 2 yaitu tentang apa yang sebenarnya dikatakan oleh teks Alkitab sendiri dan bagaimana tanggapan kelompok terhadap homseksualitas. Untuk yang pertama, ternyata memang tidak disebutkan dalam teks bahwa orang Sodom dan Gomora itu adalah kaum homoseks. Pemahaman tentang homoseks itu rupanya muncul dalam tradisi.[6] Tetapi karena tradisi itu sudah berjalan turun temurun, sudah mendarah daging, maka begitu membaca Kejadian 19, orang dengan serta merta berpikir tentang homoseksualitas. Kaum waria yang rupanya masih polos, mereka tidak melihat keterkaitan itu. Maka, tidak heran jika mereka menghubungkan hukuman atas Sodom dan Gomora dengan dosa yang bukan disebabkan oleh homoseksualitas. Bagi mereka dosa orang Sodom dan Gomora memang besar, maka hukuman yang diterima juga berat, namun dosa itu bukanlah dosa homoseks.

Berkenaan dengan masalah penerimaan terhadap homoseksualitas yang berkembang dalam tahap selanjutnya dari intercultural reading ini, terjadi diskusi lintas kelompok yang hangat mengingat adanya 2 pendapat yang berbeda yaitu yang menganggap homoseks itu tidak salah dan yang menganggap homoseks itu salah dan dosa. Kaum waria sudah jelas menolak anggapan homoseks itu dosa. Sedang kelompok Islam dan Kristen bersikap sebaliknya. Menjadi penting bagi masing-masing yang berbeda pendapat itu untuk mendengar pendapat yang berbeda. Boleh dikatakan bahwa proses ini telah membawa perubahan pada mereka yang berbeda pendapat itu sebagai hasil dari didengarnya suara pihak lain yang tidak sama.

Dalam tradisi Islam sendiri, kisah Sodom sudah dengan eksplisit mengungkap penolakan terhadap homoseksualitas. Mungkin tidak demikian bagi tradisi Kristen. Penulis katakan mungkin oleh karena teks Alkitab yang mestinya dijadikan rujukan oleh orang Kristen yaitu teks Kejadian 19 sebenarnya tidak eksplisit menunjuk kepada homseksualitas bahkan tidak juga kepada seksualitas. Andaikata teks tersebut dibaca dengan seksama dan diterima tanpa diberi tambahan pemahaman yang berasal dari luar dirinya, seharusnya tuduhan bahwa Sodom bersalah karena homoseks tidak perlu terjadi.[7] Tetapi memang orang Kristen pada umumnya tidak melihat seperti itu. Mereka cenderung melihat seperti orang Islam. Kalau begitu maka jadilah teks Kejadian 19 itu diterima sebagai teks tentang kutukan terhadap kaum homoseks. Sekalipun demikian, pertemuan lintas kelompok terutama dengan kelompok waria bisa membuka wawasan baik dari orang Kristen maupun Islam terhadap homoseksualitas.

Seni dalam mimpi Daniel  

Dalam kitab Daniel terdapat bagian-bagian yang berisi laporan mengenai mimpi Daniel. Mimpi-mimpi tersebut bukanlah mimpi biasa karena merupakan sebuah penglihatan tentang apa yang akan terjadi di masa mendatang (apokaliptik). Sekalipun dimaksudkan untuk menyingkap rahasia masa yang akan datang, mimpi-mimpi tersebut ternyata tidak mudah untuk dimengerti. Isinya penuh dengan gambaran-gambaran abstrak. Ada makhluk-makhluk yang sebentar seperti binatang, sebentar seperti manusia. Wujud makhluk-makhluk itu sulit juga untuk dibayangkan karena tidak ada dalam alam nyata yang kita kenal. Para penafsir teks tentang mimpi-mimpi Daniel sudah terbiasa untuk mencari kaitan antara apa yang diungkapkan dalam di dalamnya dengan peristiwa-peristiswa nyata. Sebagian dari mereka menghubungkan mimpi Daniel dengan peristiwa nyata yang terjadi di zaman Daniel sendiri. Atau, kalau tidak, di zaman penulis kitab Daniel. Ada pula penafsir yang cenderung menghubungkan mimpi Daniel dengan peristiwa-peristiwa di zaman sekarang. Mereka ingin memastikan bahwa penglihatan Daniel itu sungguh-sungguh menjadi kenyataan sekarang ini atau setidaknya, tanda-tandanya sudah mulai kelihatan. Baik mereka yang mengaitkan mimpi Daniel dengan peristiwa historis di masa lalu maupun yang mengaitkannya dengan peristiwa sekarang, sama-sama yakin bahwa gambaran-gambaran sulit yang terdapat dalam mimpi Daniel itu dapat ditebak maksudnya. Seperti sebuah sandi, akhirnya ada jalan untuk memecahkan kode rahasianya.

Penulis sendiri berpendapat berbeda. Bagi penulis, mimpi-mimpi Daniel adalah sebuah ungkapan seni yang punya nilai pada dirinya sendiri. Gambaran-gambaran yang tidak lumrah itu memang disengaja demikian dan lebih baik diterima apa adanya demi mendapatkan artinya. Tetapi arti yang seperti apakah itu? Arti yang sama dengan arti dari sebuah karya seni yaitu arti dari imajinasinya. Supaya maksud penulis menjadi jelas maka penulis memakai media lukisan. Karena penulis tidak bisa melukis maka penulis pergi minta tolong kepada seorang pelukis di Yogya. Namanya Popok Tri Wahyudi yang beragama Islam. Popok yang mengatakan kepada saya bahwa ketika kecil, ia hidup dan dibesarkan di lingkungan yang sangat Islami, bersedia untuk menolong saya “menafsirkan” teks mimpi Daniel dan menumpahkan hasil tafsirnya itu ke atas kanvas berupa lukisan. Ini memang bukan tafsir yang konvensional, namun tetaplah merupakan sebuah tafsir. Bahkan untuk teks apokaliptik yang tidak jelas itu, lukisan dapat berfungsi dengan lebih baik untuk menyampaikan maksudnya. Maksud itu memang bukan pengertian verbal, namun pengalaman visual. Lukisan Popok telah membuat mimpi Daniel memperlihatkan dayanya yang dinamis dan kuat.

Dalam kesempatan ini penulis tidak ingin memaparkan semua hal yang penulis temukan lewat karya lukisan Popok itu.[8] Cukup untuk disebutkan di sini bahwa dalam lukisan tersebut Popok tidak hanya memperlihatkan kepiawaiannya sebagai seorang pelukis, namun juga mengekpresikan pengalamannya sebagai seorang Muslim. Orang dapat mendapati nuansa Islami dalam lukisannya. Misalnya saja ketika menggambarkan suasana pengadilan (terakhir) dimana ada seorang yang duduk bersila di depan dengan pakaian seperti seorang Kiai yang dikelilingi oleh orang-orang yang nampak sebagai murid-muridnya. Settingnya mirip sekali dengan setting sebuah acara pengajian (?).

Lalu duduklah Majelis Pengadilan dan dibukalah Kitab-kitab. (Dan 7:10)

Lalu duduklah Majelis Pengadilan dan
dibukalah Kitab-kitab. (Dan 7:10)

Proses yang terjadi di sini sebenarnya tidak sekedar merupakan pengalihan dari teks ke atas sebuah kanvas sebagaimana metode yang sering dipraktekkan di zaman dahulu oleh para misionaris ketika ingin menyampaikan isi Alkitab kepada audience yang masih buta huruf. Lukisan yang dibuat oleh Popok tidaklah didorong oleh motivasi serupa itu,  melainkan motivasi untuk menangkap dan mengungkap “greget” dari teks. Popok mempunyai kebebasan untuk berimajinasi tentang daya yang terkandung dalam mimpi Daniel dan mengekspresikannya ke dalam lukisannya. Hasilnya adalah lukisan yang terasa sekali “popok”nya. Karena itu, bila dikehendaki kita bisa masuk ke fase lanjutan yakni membicarakan lukisan Popok itu sendiri sebagai sebuah pesan simbolik.

Masalah metodologi

Usaha yang telah penulisa lakukan dalam rangka mempertemukan teks Alkitab dan Qur’an di atas dapat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kritis. Pertanyaan pertama yang layak muncul adalah berkenaan dengan metodologi yang penulis gunakan. Dalam studi biblika, sekalipun akhir-akhir ini telah menampakan perubahan yang cukup besar, dominasi metode tafsir historis kritis masih cukup terasa hingga sekarang. Apabila orang melihat upaya penulis di atas dari sudut pandang historis kritis, maka segera akan timbul persoalan. Alih-alih melihat teks dalam terang konteks asalinya, penulis cenderung untuk menerima begitu saja teks dalam keadaannya sekarang. Padahal bagi penafsiran historis kritis, mempertimbangkan keberadaan latar sejarah adalah sebuah keharusan. Teks dipandang tidak muncul begitu saja melainkan melalui fase-fase perkembangan yang membuatnya penuh dengan masalah yang harus diperhitungkan. Mengabaikan fase-fase perkembangan teks itu akan sama dengan memperlakukan teks secara semena-mena. Lebih dikhawatirkan lagi jika sejarah diabaikan maka kehendak dari pembacalah yang berbicara. Memberi tempat kepada pembaca untuk menentukan makna sebuah teks akan melahirkan suatu eisegese yaitu penyelundupan pikiran pembaca ke dalam teks. Seolah-olah yang diangkat adalah maksud teks namun sebenarnya adalah kehendak pembaca sendiri. Cara semacam ini mudah membuat orang jatuh pada kehendaknya sendiri yang akibatnya berbahaya. Orang bisa mengklaim bahwa dirinya menjalankan perintah kitab suci padahal yang dijalankan adalah pikirannya sendiri.

Masih terkait dengan kritik di atas perlu juga disebutkan kelaziman yang ada diantara para ahli dalam bekerja. Diskursus ilmiah yang dikembangkan oleh para ahli biblika telah dipahami secara khas yaitu bahwa dengannya orang melakukan pencarian kebenaran obyektif atas apa yang sejatinya terjadi. Berkenaan dengan tokoh dan peristiwa, para ahli menyelidiki siapa sesungguhnya tokoh tersebut dan peristiwa apa yang benar-benar terjadi. Teks yang menceritakan tokoh dan peristiwa itu dipandang sebagai sebuah mimesis, “penjiplakan” atas tokoh dan peristiwa yang dikisahkannya. Artinya, teks yang mengungkap tokoh dan peristiwa itu diasumsikan sebagai sebuah laporan pandangan mata. Penelitian para ahli akan sampai pada tahap dimana laporan Alkitab itu dapat didukung oleh bukti-bukti yang sah secara ilmiah atau malah tidak. Dimensi lain yang masih sejalan dengan konsep ini adalah pencarian mengenai pengarang dan maksudnya. Pengandaiannya adalah teks Alkitab itu adalah sarana untuk menyampaikan pesan dari pengarangnya. Teks adalah eskpresi pikiran pengarangnya. Melakukan kajian ilmiah dalam kerangka ini berarti mencari dan menemukan pikiran pengarang tersebut. Usaha ini dijalankan dengan terlebih dahulu memastikan siapa pengarang tersebut dan di mana serta kapan ia hidup.

Menanggapi kelaziman dalam dunia studi kritis Alkitab tersebut, penulis ingin mengatakan bahwa masih ada bentuk pendekatan terhadap teks Alkitab lainnya yang seharusnya diterima secara sama dengan apa yang telah menjadi kelaziman tersebut. Dengan semakin berkembangnya dunia studi kritis Alkitab, telah diterima pula metode penafsiran yang memberikan kesempatan bagi teks untuk ditelaah sebagai dan pada dirinya sendiri. Metode tafsir naratif misalnya adalah metode yang berpijak pada pemahaman bahwa narasi Alkitab mengandung komponen-komponen narasi yang dengannya penafsir menjalankan penafsirannya tanpa harus menengok kepada hal-hal diluar narasi itu. Selain itu, masih ada pula jenis penafsiran lain yang disebut pragmatis. Pada dasarnya jenis penafsiran yang ini memahami bahwa pembaca perlu diberi ruang yang lebih leluasa untuk menentukan penafsirannya.[9]  Contoh yang paling baik atas tafsir semacam ini adalah intercultural reading yang tadi telah dipaparkan.

Dengan memperlihatkan perkembangan terkini dari dunia biblika tersebut diharapkan terjadi keterbukaan untuk menerima pola penafsiran yang memberikan penekanan pada teks dan pada pembaca sebagai pola yang sama sahnya dengan pola-pola yang lebih klasik. Penerimaan terhadap perkembangan ini akan menjadi dasar bagi penerimaan terhadap upaya pembacaan lintas kitab suci sebagaimana yang telah penulis lakukan.[10]

Siapa mengatasi siapa

Seandainya harapan tersebut telah terpenuhi, masih ada persoalan lain terkait dengan upaya mempertemukan teks Alkitab dan Qur’an tadi yaitu potensi bagi salah satu untuk mengatasi yang lain. Idealnya kedua kitab suci tersebut diperlakukan secara adil, namun bisa saja kenyataannya tidak demikian. Dari pengalaman para ahli biblika kecenderungan untuk memakai teks-teks diluar Alkitab tidak lebih sebagai pendukung saja harus diakui memang ada. Teks-teks non Alkitab itu dipakai sebagai pertimbangan untuk memperjelas teks Alkitab, namun tidak pernah diperhatikan dalam konteksnya sendiri. Atau, kalaupun ada perhatian yang lebih utuh atas sebuah teks non Alkitab, bila sudah tiba pada penilaian dalam kerangka perbandingan, kecenderungan untuk bersikap berat sebelah akan segera terlihat. Biasanya teks Alkitab akan dinilai lebih baik daripada teks non Alkitab. Contohnya adalah perlakuan terhadap mitologi-mitologi kuna dari sekitar Palestina. Pada masa jaya-jayanya historis kritis, yaitu sekitar abad XIX sampai awal abad XX, kisah-kisah mitologis tersebut dipelajari dalam kerangka mencari asal-usul kisah-kisah Alkitab, khususnya kisah-kisah penciptaan dan para datuk bangsa Israel. Ketika sudah ditetapkan mana-mana yang menjadi asal-usul kisah Alkitab, kemudian diperlihatkan perbedaan-perbedaan antara kisah mitologis non Alkitab dan kisah dari Alkitab. Perbedaan itu pada akhirnya mau membuktikan bahwa kisah Alkitab lebih baik daripada kisah diluar Alkitab, sekalipun kisah diluar itulah yang menjadi sumbernya. Pemakaian kisah-kisah diluar Alkitab oleh penulis Alkitab dipandang sebagai proses yang tidak otomatis tetapi lewat prosedur perbaikan-perbaikan. Itulah sebabnya kisah Alkitab akhirnya menjadi lebih baik. Lebih baik dalam hal apa? Dalam hal bahwa kisah Alkitab lebih monoteis, lebih tidak berbau kekerasan dan lebih manusiawi. Pendeknya, Alkitab lebih selaras dengan citarasa orang modern.

Tetapi semakin hari sebenarnya semakin terdapat penerimaan yang lebih utuh terhadap teks-teks non Alkitab. Juga ada penghargaan yang lebih positif terhadap teks-teks tersebut. Perkembangan ini pastilah terjadi karena adanya kesadaran yang lebih baik terhadap perbedaan agama. Pluralisme semakin lama semakin diterima sebagai cara pandang dan pikir. Sedang pandangan yang eksklusif dari suatu agama semakin lama semakin ditinggalkan. Mungkin gejala ini tidak terjadi pada semua orang atau pada semua kalangan, namun melihat karya-karya para ahli biblika sekarang ini, tidak salah untuk mengatakan bahwa gejala tersebut memang sungguh-sungguh ada.

Di tengah perkembangan yang menurut penulis menggembirakan tersebut, ada yang tetap perlu dipertahankan keberadaanya yaitu sikap kritis. Penerimaan teks-teks non Alkitab secara setara dengan teks Alkitab hendaknya tidak membuat orang kehilangan sikap kritis. Bila selama ini studi kritis terhadap Alkitab telah berkembang dengan baik dan sudah dapat diterima sebagai keniscayaan, dengan adanya perkembangan kesadaran yang membuat kita lebih menghargai teks non Alkitab, kita tetap perlu memelihara agar sikap kritis tersebut dapat terus berlanjut. Sikap kritis tidak boleh diperlawankan dengan penghargaan. Kita sudah banyak belajar dari pengalaman yang seharusnya tidak lagi membuat kita memandang sikap kritis sebagai sikap tidak menghargai. Justru sebaliknyalah yang terjadi. Sikap kritis kiranya menjamin penghargaan kita kepada sebuah teks. Maka, sikap ini tetap perlu kita ikutsertakan dalam upaya kita untuk menghargai teks yang kalau dulu hanya Alkitab saja, sekarang ditambah dengan teks-teks non Alkitab, termasuk dan terutama al-Quran.

Sikap kritis yang penulis maksud tidak semata-mata tertuju kepada kajian-kajian ilmiah terhadap sebuah teks suci, namun juga kritis terhadap nilai-nilai yang tidak lagi relevan bagi dunia kita sekarang. Ketika mengajar tafsir Alkitab, penulis suka mewanti-wanti kepada mahasiswa agar bila suatu saat menemukan sesuatu yang sulit untuk diterima dan dipraktekkan dalam konteks kehidupan sekarang, maka tidak perlu segan-segan untuk bersikap kritis terhadapnya. Katakanlah ada suatu tindakan yang tidak selaras dengan HAM, terhadap tindakan tersebut kita harus berani terbuka untuk memberikan kritik. Kutipan kata-kata Wilfred Cantwell Smith pada bagian awal tulisan ini menegaskan sebuah konsekuensi dari upaya untuk memahami kitab suci apapun yaitu bahwa tidak hanya sisi positifnya saja yang perlu diangkat, namun juga sisi-sisi gelapnya. Kejujuran untuk mengungkap keseluruhan yang ada pada kitab suci merupakan faktor yang sangat menentukan bagi pemahamannya.[11] Tentu saja kita perlu memperhitungkan perbedaan zaman dan konteks antara kita sekarang dan orang-orang yang hidup di zaman kitab suci. Kesadaran akan perbedaan konteks ini adalah juga merupakan bagian dari sikap kritis. Kalau dalam kajian terhadap Alkitab, orang perlu menghargai perbedaan antara dirinya dengan orang-orang yang hidup di zaman Alkitab, dalam rangka membaca teks non Alkitab dan teks Alkitab, penghargaan terhadap perbedaan juga perlu ada dalam melihat kedua teks suci yang berbeda tersebut. Jadi perbedaan yang perlu dihargai adalah antara kita dengan orang Alkitab, antara Alkitab dan kitab suci lain dan antara kita dengan kitab suci lain tersebut. Tidak ketinggalan pula perbedaan antara kita sebagai orang Kristen dengan penganut agama yang kitab sucinya sedang kita pelajari. Penulis berharap poin-poin ini sudah dijalankan ketika penulis mengupayakan pembacaan lintas teks suci dan lintas pemeluk agama di atas tadi.

Penutup

Usaha untuk mempertemukan teks Alkitab dan al-Qur’an yang telah penulis lakukan sejauh ini terkesan dilakukan secara terbatas di lingkungan kampus saja. Kalau begitu, apakah hal yang sama dapat dilakukan diluar kampus, yaitu di kalangan umat? Penulis tidak ingin terlihat terlalu optimis mengenai hal ini. Ada banyak masalah yang kelihatannya masih perlu diatasi sebelum upaya seperti yang penulis lakukan dapat diterima oleh masyarakat luas. Salah satu kendala besar yang penulis rasakan adalah belum terbiasanya orang membaca teks suci agama lain. Jangankan membaca teks suci agama lain, membaca teks sucinya sendiri saja mungkin masih belum tuntas. Demikian pula anjuran penulis agar upaya mempertemukan teks-teks suci yang berbeda tetap disertai dengan sikap kritis. Anjuran ini kiranya masih sulit pula diterapkan, mengingat sikap kritis terhadap teks sucinya sendiri saja masih belum begitu diterima secara luas.

Akan tetapi, bagi penulis, kendala-kendala tersebut hendaknya tidak membuat kita berhenti berusaha mengingat banyak hal positif yang dapat diharapkan muncul dari pembacaan lintas teks suci dan lintas agama tersebut. Beberapa diantaranya adalah pada tataran kognitif, seseorang dapat memperoleh kekayaan pengetahuan dari pembacaan teks suci agama lain. Khusus mengenai Alkitab dan al-Qur’an, dengan pembacaan lintas teks, suatu gap yang terdapat pada salah satu kitab suci bukan tidak mungkin dapat ditutup oleh informasi dari kitab suci lainnya. Dengan begitu yang semula tidak jelas dapat diperjelas dengan membaca kitab suci lainnya. Manfaat lainnya lagi adalah penemuan nilai-nilai dasariah bersama (common value) seperti yang penulis perlihatkan ketika membahas kisah pengurbanan anak Abraham di atas. Sebab, sekalipun teksnya mengandung perbedaan (Ismail / Ishak), nilai bersamanya tetap ada. Apakah itu tidak sama dengan pereduksian teks? Menurut penulis tidak. Kita tidak harus menggantikan teks dengan nilai bersama tadi. Perbedaan yang ada diantara kedua teks tersebut tetap bisa dijadikan bahan pembahasan tersendiri karena memang perbedaan itu ada. Tetapi perbedaan itu bukan satu-satunya yang ada. Nilai bersama antara kedua kisah yang tokohnya berbeda itu juga ada. Pada aras yang lebih dalam lagi, kita juga dapat menyaksikan adanya nilai-nilai universal yang melandasi teks-teks suci berbagai agama. Penulis cukup optimis mengenai hal ini melihat bahwa pada dasarnya setiap agama ingin menyapa seluruh umat manusia tanpa kecuali. Maka teks suci dari sebuah agama juga sudah selayaknya memiliki relevansi bagi semua orang. Ketika 2 atau lebih kitab suci dipertemukan, nilai universal yang mereka miliki niscaya akan nampak bertindihtepat.

 

Bibliografi

Brett, Mark G., Genesis, Procreation and the Politics of Identity, London-New York: Routledge, 2000.

Fernhout, Rein, Canonical Texts. Bearers of Absolute Authority. Bible, Koran, Veda, Tipitaka, Currents of Encounter, vol. 9, Amsterdam – Atlanta, GA: Rodopi B.V., 1994.

Firestone, Reuven, “The Qur’an and the Bible: Some Modern Studies of Their Relationship” dalam Bible and Qur’an, Essays in Scriptural Intertextuality, John C. Reeves, (ed.), Atlanta: Society of Biblical Literature, 2003.

Robbins, Vernon K. and Gordon D. Newby, “A Prolegomenon to the Relation of the Qur’an and the Bible” dalam Bible and Qur’an, Essays in Scriptural Intertextuality, Atlanta: Society of Biblical Literature, 2003.

Setio, Robert, Membaca Alkitab Menurut Pembaca: Suatu Tafsir Pragmatis, Yogyakarta: Duta Wacana U.P., 2006.

Smith, Wilfred Cantwell, What Is Scripture? A Comparative Approach, Minneapolis: Fortress Press, 1993.

[1] Disajikan pertama kali dalam Seminar Membaca Alkitab dan al-Qur’an Secara Intertekstual, 25 Juli 2010

[2] Reuven Firestone mengatakan sebabnya adalah polemik Islam-Kristen yang sudah terjadi sejak lahirnya Islam. Tetapi konteks yang diangkatnya adalah konteks Barat yang belum tentu cocok dengan konteks Indonesia, meskipun bukan sama sekali tidak cocok. Lihat artikelnya “The Qur’an and the Bible: Some Modern Studies of Their Relationship” dalam Bible and Qur’an, Essays in Scriptural Intertextuality, 2003.

[3] Reading the Aqedah Narrative (Genesis 22:1-19) in the Context of Modern Hermeneutics, Glasgow University, 1993.

[4] Dipresentasikan pada konferensi Society of Asian Biblical Studies di Methodist Theological University, Seoul, 14-16 Juli 2008.

[5] Untuk diskusi mengenai hubungan historis Alkitab dan Qur’an, lihat Vernon K. Robbins and Gordon D. Newby, “A Prolegomenon to the Relation of the Qur’an and the Bible” dalam Bible and Qur’an, Essays in Scriptural Intertextuality, 2003

[6]Dalam Perjanjian Baru memang terdapat indikasi yang mengaitkan Sodom dan Gomora dengan seksualitas (II Petrus 2:6, Yudas 1:7), namun bukan homoseks.

[7] Teks ini sebaiknya dibaca sebagai ketegangan antara penduduk pribumi (orang Sodom) dan pendatang (Lot dan para utusan / malaikat itu). Orang Sodom sebagai penduduk pribumi terlihat merendahkan pendatang. Lihat Mark G. Brett, Genesis, 2000, h. 68

[8] Paparan lengkap dapat dilihat pada artikel penulis “Fantasi dalam Apokaliptik Daniel 7” dalam Jurnal Ledalero, Wacana Iman dan Kebudayaan, vol. 9 no. 1, Juni 2010.

[9] Lihat Robert Setio,  Membaca Alkitab Menurut Pembaca: Suatu Tafsir Pragmatis, 2006.

[10] Masih dalam kerangka pragmatis, ada model lain dalam intertekstualitas kitab suci yang perlu disebut yaitu seperti yang diperkenalkan oleh Rein Fernhout. Model ini mengambil sudut pandang penghayat masing-masing kitab suci yang hidup dari zaman ke zaman. Perjumpaan antar kitab suci terjadi lewat analogi yang berarti tidak sampai dicari nilai-nilai universalnya. Canonical Texts. Bearers of Absolute Authority, 1994.

[11] Kutipan tersebut terdapat pada bukunya What Is Scripture?, h. 214.